بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِي
Di ketinggian 1100 mdpl, rumah-rumah beratap kerucut itu menghadirkan
kekaguman akan sebuah budaya yang unik dan luhur. ItulahWae Rebo, sebuah
kampung di punggung gunung yang terpencil di pedalaman Manggarai.
Tepatnya di desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten
Manggarai Barat Flores.
Perlu
persiapan fisik dan logistik untuk mencapai Wae Rebo, karena harus
jalan kaki dan mendaki. Medannya pun lumayan melelahkan - jalan tanah
yang berlumpur dan berbatu - kalau tak terbiasa. Sebaiknya kalau punya
rencana berwisata ke Flores, persiapkan juga fisik agar prima. Sayang
kalau destinasi hanya ke Pulau Komodo tapi tidak mengunjungi Wae Rebo.
|
Foto: rolandtravel.co.id |
Sementara bagi penjelajah alam, menuju Wae Rebo seperti perjalanan ke
surga budaya yang mengagumkan. Tidak hanya keramahan penduduk kampung
yang bakal menyambut kita, tetapi juga akan dimanja dengan aneka ragam
vegetasi yang menarik, termasuk anggrek, palem, dan pakis yang berbeda.
Serta populasi mengesankan kawananan burung yang seolah bernyanyi
menyambut tetamu.
Awal Wae Rebo berkat musang
Konon menurut cerita setempat, Maro adalah orang pertama yang tinggal
dan menetap di Wae Rebo. Diyakini berasal dari Minangkabau. Semula
leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke
Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi
ke Popo. Di sini terjadi peristiwa aneh.
Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya,
sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan
membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu
yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka
menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam sebelum diserbu,
muncul musang di rumah Maro.
Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun
bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu
mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi
Maro.
Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di
tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah
ke Liho dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo
Damu, dan Golo Pandu.
Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu
mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah
lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana
terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.
Rumah atap kerucut yang harus tujuh.
Di Kampung adat Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang
Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro,
Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Jumlah rumah adat tak boleh lebih dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8
keluarga. Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun
rumah baru, harus di luar kampung adat.
Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam
berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk.
Niang Gendang Maro, semacam rumah adat utama, diyakini merupakan tempat
leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi
sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi daripada 6 niang lainnya.
Ketika Anda mengunjungi Wae Rabo, Anda dipersilakan untuk menghabiskan
malam di Mbaru Niang, untuk bersosialisasi dan makan bersama komunitas
Wae Rebo. Anda akan tidur di tikar, sebuah tikar anyaman yang terbuat
dari daun pandan di mbaru niang, dan mendapatkan pengalaman bagaimana
rasanya kehidupan dulu ketika keluarga besar masih menjalani hidup
mereka di bawah satu atap.
Sebagian besar orang bekerja di kebun mereka dari pagi sampai fajar,
sibuk dengan panen kopi dan pengolahan kacang. Meskipun tenun bukan
merupakan aktivitas utama di Wae Rebo, Anda mungkin dapat menemui
beberapa wanita pengrajin kain tenun songket tradisional. Para Tetua
Adat akan memberi fasilitas tambahan jika Anda ingin tinggal di Wae Rebo
untuk bermalam, ada beberapa pemandu lokal serta beberapa operator tur
yang dapat mengatur jadwal tetap trekking untuk Anda.
Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan
Ngando, yang disimbolkan kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar.
Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus
pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini.
Pada bagian tengah rumah adat ada semacam tiang utama yang disebut
bongkok. Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Inilah Papa Ngando dan
Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah adat juga
ditopang 9 tiang utama, yang menggambarkan kehidupan dari janin menjadi
bayi melewati sekitar 9 bulan dalam rahim.
Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi
kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat,
jangan diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan.
Itu sebabnya musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar.
Ada pula molang, pada bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga
bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga.
”Saat bayi lahir didekatkan ke periuk di dapur, sebab ada nyala api
yang menghangatkan tubuh bayi.”
Selain itu, rumah adat utama ini terdiri dari 5 tingkat. Tingkat pertama
rumah ini disebut lutur atau tenda. Lantai pertama ini digunakan
sebagai tempat tinggal sang penghuni. Di tingkat kedua atau lobo adalah
tempat menyimpan bahan makanan dan barang.
Naik satu lantai, di lantai tiga atau lentar adalah lantai yang
digunakan untuk menyimpan benih tanaman untuk bercocok tanam. Sama
seperti tingkat 1, 2 dan 3, tingkat juga memiliki namanya sendiri, yaitu
lempa rae. Lempa rae adalah tempat untuk menyimpan stok cadangan
makanan yang berguna saat hasil panen kurang berhasil. Nah, jika masuk
di lantai paling akhir atau yang hekang kode, Anda bisa melihat aneka
sesajian yang disimpan pemilik rumah untuk para leluhur.
Proses pembangunan rumah ini adalah tanpa menggunakan paku, melainkan
dengan konsep pasak dan pen, dan diikat dengan rotan sebagai penguat
setiap tulang fondasinya. Menurut cerita dari masyarakat ini, banyak
sekali arsitek Indonesia dan luar negeri yang datang dan menginap untuk
mempelajari konsep rumah adat Wae Rebo ini.
Aturan wisata
Perlu di perhatikan bagi para pengunjung ada beberapa kesepakatan
diantara Masyarakat di sana yang menetapkan biaya admistrasi. Menurut
salah seorang Tetua, uang administrasi serta pengelolaan uang tersebut
adalah untuk biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh
para ibu serta pemeliharaan infrastruktur kampung seperti bahan bakar
genset dan sumber air. Secara berkala, hasil pengumpulan biaya
administrasi itu akan dibuka bersama-sama oleh masyarakat dan diumumkan
jumlahnya serta dibagi untuk pengelolaan kampung.
Biaya menginap di rumah adat Wae Rebo adalah Rp 225,000/orang sudah
termasuk tiga kali makan. Jika tidak menginap, maka tamu dapat membayar
Rp 100,000.
Yang tidak boleh dilupakan adalah setiap tamu yang datang ke Wae Rebo
harus melalui upacara Waelu. Para tetua adat akan memohon ijin pada
leluhur untuk menerima tamu serta memohon perlindungan hingga sang tamu
meninggalkan kampung dan kembali ke tempat asalnya.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Sumber: